top of page
Search

RUU Bank Indonesia : Ancaman Independensi ?

  • kabinetaksata
  • Dec 5, 2020
  • 11 min read

RUU Bank Indonesia Secara Umum


Badan Legislasi DPR saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Bank Indonesia. RUU yang nantinya akan menggantikan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dinilai sarat akan masalah. Dalam dua dekade terakhir, bukan kali ini saja UU BI mengalami perubahan. Semenjak perubahan besar-besaran UU BI pascareformasi tahun 1999, setidaknya UU ini sudah dua kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut tertuang pada UU No 3/2004 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2/2008.


Dalam 21 tahun UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, berhasil menjamin independensi Bank Indonesia. Meski masih ada pengaruh dari lembaga eksekutif serta legislatif negara, tidak ada pihak yang dapat memengaruhi proses pengambilan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Namun, independensi BI yang sebelumnya dijamin oleh UU tersebut bisa jadi hilang apabila RUU BI kali ini disahkan. Hal ini karena adanya ketentuan pembentukan Dewan Moneter yang diatur dalam RUU ini, dalam hal ini pemerintah dapat campur tangan dalam proses pengambilan keputusan moneter Indonesia.


Alhasil, independensi BI sebagai bank sentral pun terancam. Selain pembentukan dewan moneter, RUU tersebut juga mengatur keterlibatan pemerintah dalam keputusan rapat dewan gubernur yang diadakan setiap bulan. Pemerintah dapat mengirimkan perwakilan yakni seorang atau lebih menteri dibidang perekonomian yang memiliki hak bicara dan hak suara dalam rapat. Rapat dewan gubernur bulanan antara lain memutuskan arah suku bunga acuan Bank Indonesia.


Tergerusnya independensi BI mendominasi kekhawatiran investor terhadap isu revisi Undang-Undang Bank Indonesia. Masalah ini seolah-olah menutupi rencana lain yang juga muncul dalam draf kasar rancangan revisi yang disiapkan Badan Legislasi, seperti penarikan kembali wewenang pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan kepada bank sentral. Melalui RUU BI, dapat dipastkikan bahwa pemerintah akan memiliki kuasa yang lebih untuk mengatur BI. Dalam UU yang saat ini berlaku, BI hanya perlu mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah ketika mengatur kebijakan moneter negara.



Dewan Moneter


Dewan Moneter adalah lembaga yang bertugas mengawasi dan memberi nasihat mengenai keuangan negara atau organisasi keuangan negara. Posisi Dewan Moneter akan berada. Tujuan pembentukan Dewan Moneter adalah untuk membantu pemerintah dan Bank Indonesia dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Selain itu, Dewan Moneter mempunyai fungsi memimpin, mengoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Pada RUU Bank Indonesia Dewan ini terdiri dari 5 anggota, yakni Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner OJK. Dewan moneter diketuai oleh Menteri Keuangan. Susunan anggota tersebut serupa dengan Dewan Moneter pada masa Orde Lama dan Orde Baru.


Sebenarnya, Dewan Moneter bukan sesuatu hal baru di Indonesia. Tahun 1953, Indonesia sudah memiliki Dewan Moneter yang juga dipimpin oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan menteri bidang ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia. Dalam sejarahnya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Struktur kepemimpinan atas bank sentral mengatur tentang dewan moneter, di tangan Dewan Moneter inilah kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Dalam hal ini bank sentral saat itu bekerja di bawah pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter.


Kepemimpinan di bawah bayang-bayang pemerintah tersebut berjalan puluhan tahun lamanya. Setelah orde baru berlalu, Bank Indonesia mendapatkan independensinya melalui

No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lain.



Pasal Kontroversial


Berdasarkan Revisi Undang-Undang Bank Indonesia yang disusun oleh para wakil rakyat di Senayan yang beredar di publik, terdapat upaya memberangus independensi Bank Indonesia secara gamblang terlihat dari sejumlah poin usulan perubahan.Rancangan peraturan perundangan ini mengusung spirit yang memunculkan kesan betapa pemerintah dan DPR kompak ingin menggunduli wewenang dan independensi Bank Indonesia.


Pasal 4 ayat 2 dalam revisi UU BI itu mengubah aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 3 Tahun 2004 yang berbunyi BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU ini. Secara gamblang, revisi UU BI menghapuskan independensi BI dari campur tangan pemerintah. Sebaliknya, BI diharuskan berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hubungan pemerintah dan BI dalam revisi UU ini mengingatkan kembali ikatan pemerintah dan BI pada masa orde baru.



Hal paling krusial terdapat pada revisi pasal 9 yang apabila RUU ini disetujui maka dipastikan idenpendensi Bank Indonesia di sektor moneter akan lenyap karena akan digantikan oleh Dewan Moneter. Berikut ketentuan Pasal 9 yang berisi "Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya," dihapus dan diganti menjadi pasal bercabang.


Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 9A, Pasal 9B, dan Pasal 9C di RUU Bank Indonesia terbaru. Pasal 9A berisi 5 ayat yakni: (1) Dewan Moneter membantu Pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian. (3) Dewan Moneter terdiri dari 5 (lima) anggota, yaitu Menteri Keuangan dan 1 (satu) orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur BI dan Deputi Gubernur Senior BI; serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (4) Jika dipandang perlu, Pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasehat kepada Dewan Moneter. (5) Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh BI.


Pasal 9B berisi 3 ayat, yakni: (1) Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan. (2) Dewan Moneter bersidang sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam sebulan atau sesuai dengan kebutuhan yang mendesak. (3) Dalam pembicaraan yang bersifat teknis, anggota Dewan Moneter berhak menunjuk penasehat ahli yang dapat menghadiri sidang Dewan Moneter. Kemudian, Pasal 9C berisi, (1) Keputusan Dewan Moneter diambil dengan musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila Gubernur tidak dapat memufakati hasil musyawarah Dewan Moneter, Gubernur dapat mengajukan pendapatnya kepada Pemerintah. (3) Tata tertib dan tata cara menjalankan pekerjaan Dewan Moneter ditetapkan oleh Dewan Moneter.


Ketentuan pasal 11 ayat (4) diubah menjadi, "Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban bersama Bank Indonesia dan Pemerintah.". Ayat

(5) diubah menjadi, "Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai dan kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan diatur dalam undang-undang tersendiri.



Dalam RUU BI, Pasal 34 disebutkan, tugas mengawasi Bank yang selama ini dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dialihkan kepada Bank Indonesia. Pengalihan tugas pengawasan bank ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2020. Sementara proses pengalihan akan dilakukan secara bertahap setelah memenuhi sejumlah syarat dan dilaporkan kepada DPR. Padahal pada dasarnya pengalihan tugas pengawasan belum lama dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terhitung sejak 31 Desember 2013, pengaturan dan pengawasan bank dilakukan OJK Sejatinya pembentukan OJK pada 2011 lalu dilakukan agar pengawasan bank dapat terintegrasi dengan lembaga lain, termasuk bank sentral nasional.


Kemudian pada Ketentuan pasal 43 ayat (1) huruf a diubah menjadi, "Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dihadiri oleh seorang atau lebih menteri di bidang perekonomian serta Menteri Keuangan yang mewakili Pemerintah dengan hak bicara dan hak suara." Dalam beleid yang saat ini berlaku, pemerintah bisa hadir di RDG bulanan BI dengan hak bicara tapi tanpa hak suara. Namun, dalam revisi RUU Bank Indonesia yang sedang dibahas oleh DPR pemerintah dapat memberikan hak bicara serta hak suara.


Tentunya perubahan-perubahan tersebut merupakan hal yang tidak wajar dan bersifat emosional, upaya tersebut merupakan tindakan yang terlalu terburu-buru dan tidak ideal, apalagi dilakukan dalam kondisi perlambatan ekonomi akibat Covid-19 yang terjadi secara global. Seharusmya DPR tidak terlalu terburu-buru untuk mengeluarkan rencana RUU kontroversial ini. Pasalnya, kesalahan kecil bisa membawa konsekuensi yang sangat besar, terutama saat mempertimbangkan perubahan di struktur dan cara kerja Bank Indonesia.



Kinerja Bank Indonesia


Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter, memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur kondisi tingkat inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah harus berada pada level aman agar dapat menjaga stabilitas perekonominan dalam Negeri tetap dalam kondisi stabil. Berdasarkan peran dan fungsi dari Bank Indonesia, kinerja Bank Indonesia sangat dituntut untuk dapat menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dan tingkat inflasi. Perbaikan masalah inflasi di Indonesia, tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter, tetapi juga haru melakukan perbaikan pada sektor riil, yaitu dengan sasaran utama nya yaitu meminimalisir hambatan-hambatan struktural yang ada dalam perekonomian nasional. (Atmadja, 2004) .Fluktuasi nilai tukar Rupiah dan tingkat inflasi selalu menarik untuk diikuti. Tingkat inflasi dan perubahan nilai tukar Rupiah dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam perekonomian suatu Negara, salah satunya dipengaruhi oleh operasi moneter sebagai pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia, selaku Bank Sentral Indonesia.


Selama memiliki status sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan hanya memiliki satu tugas pokok, Bank Indonesia dapat dikatakan telah melaksanakan tugas utamanya untuk menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui instrumen kebijakan makroprudencial yang menetapkan batasan apakah suatu lembaga keuangan yang memiliki resiko sistemik, kebijakan mikroprudencial dan kebijakan pengendalian target inflasi atau Inflation Targeting Framework (ITF).Dalam Kinerja Bank Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir (2006 – 2019) tingkat inflasi di Indonesiasecara Year-on-Year (YoY) yang memiliki nilai yang stabil dengan selalu berada diangka 3% - 6% dengan kecenderungan yang selalu bergerak pada angka 3%.


Dari data diatas, kita dapat mengetahui bahwa pergerakan tingkat inflasi Indonesia selalu berada pada tingkatan mulai dari 3,xx% sampai 6,xx% secara Year-on-Year (YoY). Dari data diataspun, kita dapat mengetahui bahwa inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 11,06% secara Year-on-Year (YoY). Kenaikan inflasi tersebut terjadi dikarenakan adanya krisis ekonomi secara global pada tahun tersebut. Maka dari itu, untuk menyelamatkan perekonomian dalam negeri, pemerintah membuat keep buying strategy dengan membuat masyarakat tetap dapat membeli kebutuhan dan pasar menerima permintaan.


Pada tahun 2013 terjadi peningkatan persentase inflasi yang cukup ekstrim. Inflasi tahun ini merupakan inflasi tertinggi sejak krisis tahun 2008. Salah satu faktor yang menyebabkan inflasi pada tahun ini merupakan inflasi tertinggi karena adanya kenaikan harga pada hampir semua sektor industri, yaitu pada industri pangan, pendidikan, kesehatan, rumah tangga dan juga bahan bakar. Kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan salah satu faktor penyumbang terbesar selain kenaikan harga tarif angkutan dalam kota dan harga bawang merah per kilogram.


Dari data diatas dapat dijelaskan kondisi inflasi Indonesia dengan pencapaian target inflasi yang telah ditetapkan oleh BI. Terlihat pada tahun 2013 dan 2014 terjadi inflasi yang cukup tinggi dan berada jauh diatas target BI yaitu 4,5±1%. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM bersubsidi mengakibatkan tingginya tekanan inflasi kelompok administered prices yang bersumber dari kenaikan harga BBM bersubsidi, penyesuaian tarif tenaga listrik, baik untuk kelompok barang rumah tangga maupun kelompok barang industri, kenaikan harga LPG, serta meningkatnya tarif angkutan udara. Selain itu, tingginya inflasi kelompok volatile food akibat gejolak harga beras dan cabai yang masih terjadi hingga penghujung tahun 2014 juga turut ikut serta dalam meningkatkan persentase inflasi.


Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup signifikan, yakni dari Rp 13.436,00 per dollar AS pada tahun 2017 menjadi Rp 13.548,00 per dollar AS . Ini mencerminkan bahwa nilai Dollar naik karena jumlah rupiah yang diperlukan untuk membeli Dollar meningkat. Dengan kata lain,Dollar mengalami apresiasi terhadap rupiah. Dari sisi lain, rupiah menjadi lebih murah di nilai dalam Dollar, artinya rupiah mengalami depresiasi terhadap Dollar.

Sudut Pandang Ekonom Menurut Ekonom Senior Faisal Basri terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di balik revisi Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang saat ini sedang dikerjakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada keinginan pemerintah untuk mengambil kekuasaan lebih dengan dimasuknya Kementerian Keuangan ke dalam Dewan Moneter. Beliau menegaskan sebenarnya Bank Indonesia sudah tidak independen sejak Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (saat ini Undang-Undang Nomor 2 Tahun


2020) dikeluarkan. Dalam hal ini seharusnya pemerintah membenahi fiskal, bukan justru mengutak-atik sektor moneter. Salah satu akar permasalahan adalah penerimaan negara semakin menurun. Bahkan rasio pajak dalam sepuluh tahun terakhir ini juga terus merosot. Upaya untuk merevisi UU BI tersebut tidak akan menyelesaikan masalah yang saat ini terjadi.


Hal serupa juga ditegaskan oleh Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan yang menilai revisi UU Bank Indonesia yang saat ini tengah dibahas di Badan Legislasi DPR RI rawan menuai polemik baru. Pasalnya, di tengah pandemi COVID-19 yang belum jelas kapan berakhirnya ini, rencana reformulasi sektor keuangan justru akan menyita energi yang tidak perlu, selain kontraproduktif. Revisi UU BI hanya akan memutar kembali tuas pengelolaan sektor moneter berjalan mundur seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Jika pembentukan Dewan Moneter terjadi, maka independensi BI, yang juga menjadi benchmark bank sentral di seluruh dunia akan teramputasi secara permanen.


Menurutnya, pangkal permasalahan bukan saja pada kredibilitas penyaluran anggaran, tapi juga akuntabilitas penggunaannya. Berdasarkan rilis Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional, realisasi program penanganan pandemi masih sangat lemah. Bisa jadi realisasi program Perlindungan Sosial sebesar 49,31% dan UMKM yang menembus 42,14% menjadi kabar yang menggembirakan. Namun mirisnya, untuk sektor K/L dan Pemda, serapan hanya di angka 14,06%.


Mengacu pada paparan di atas, pemerintah maupun regulator sebaiknya benar-benar memahami dan memikirkan matang-matang segala risiko yang ada. Selain itu, studi kebanksentralan di kancah global harus menjadi acuan, tentu dengan tetap berpegang pada kondisi dan karakter serta perkembangan ekonomi Indonesia. Pasalnya, kesalahan kecil bisa membawa konsekuensi yang sangat besar, terutama saat mempertimbangkan perubahan di struktur dan cara kerja Bank Indonesia. Belakangan,rencana perubahan Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 membuat gaduh pasar. Tidak hanya mengancam teramputasinya independensi BI, tetapi juga RUU BI dinilai akan mangguncang pasar keuangan Indonesia.



Pentingkah Independensi Bank Indonesia ?


Sebagaimana telah diidentifikasi oleh Goodhart bahwa pada suatu masa tertentu ada kecenderungan untuk independen dan masa berikutnya tidak independen (dibaca : dominasi pemerintah atas`bank sentral dominan). Untuk kasus Bank Sentral Republik Indonesia sendiri, sebagaimana telah diuraikan di atas dalam perjalanan sejarah panjangnya, mengalami dinamika yang luar biasa sejalan dengan perjalanan ekonomi politik bangsanya. Bahkan sampai pada titik nadir dimana kedudukan bank sentral berada pada kementrian (Menteri Urusan Bank Sentral) pada era ekonomi terpimpin. Setelah mengalami masa-masa sulit dalam kedudukan dan perannya, maka dengan semangat mengikuti trend bank sentral dunia dan kondisi riil perjalanan perekonomian bangsa dapat terwujud bank sentral yang independen. Para penggagas independensi Bank Indonesia tentu punya konsep dan visi yang jelas, kenapa menjadikan Bank Indonesia menjadi lembaga yang independen, terlepas dari pemerintah dan harus “tidak berpolitik”. Independensi Bank Indonesia diharapkan akan lebih menjamin stabilitas moneter yang merupakan prasyarat untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.


Independensi bank sentral tercermin di bidang hukum. Tipe independensi seperti ini terbatas di negara demokratis. Pada hampir di setiap kasus, bank sentral punya akuntabilitas di beberapa tingkat pejabat pemerintahan, juga melalui Menteri dalam pemerintahan atau langsung ke legislatif. Bank sentral punya hak untuk menentukan tujuan kebijakannya, apakah inflation targeting, control atas jumlah uang beredar, atau menjaga tingkat nilai tukar mata uang. Tipe independensi seperti ini sudah umum, beberapa bank sentral memilih mengumumkan tujuan kebijakan mereka dalam menjalin hubungan dengan deprteman pemerintah terkait. Ini meningkatkan transparansi dari proses pembuatan kebijakan dan untuk itu meningkatkan kredibilitas dari tujuannya yg dipilih dengan menyediakan jaminan bahwa mereka tidak akan dirubah tanpa catatan.


Bank sentral memiliki independensi untuk menetapkan jalan terbaik untuk mencapai tujuan kebijakannya, termasuk jenis instrument yang digunakan dan kapan instrument tersebut digunakan. Independensi ini sudah umum diterapkan oleh bank sentral. Bank sentral mempunyai wewenang/otoritas untuk menjalankan operasinya (mengangkat staff, menyusun anggaran dll), tanpa keterlibatan pemerintah yang eksesif. Bentuk form independensi yang lain tidak mungkin jika bank sentral tidak punya tingkat independensi yang signifikan.



Kesimpulan


Dalam tugasnya Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter, memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur kondisi tingkat inflasi dan stabilitas nilai tukar Rupiah harus berada pada level aman agar dapat menjaga stabilitas perekonominan dalam Negeri tetap dalam kondisi stabil. Berdasarkan peran dan fungsi dari Bank Indonesia, kinerja Bank Indonesia sangat dituntut untuk dapat menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dan tingkat inflasi. Perbaikan masalah inflasi di Indonesia, tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter, tetapi juga haru melakukan perbaikan pada sektor riil, yaitu dengan sasaran utama nya yaitu meminimalisir hambatan-hambatan struktural yang ada dalam perekonomian nasional.


Dalam 21 tahun, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berhasil menjamin independensi Bank Indonesia. Meski masih ada pengaruh dari lembaga eksekutif serta legislatif negara, tidak ada pihak yang dapat memengaruhi proses pengambilan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. Sebagaimana telah diidentifikasi oleh Goodhart bahwa pada suatu masa tertentu ada kecenderungan untuk independen dan masa berikutnya tidak independen (dibaca : dominasi pemerintah atas`bank sentral dominan). Independensi Bank Sentral sangat diperlukan sebagai prasyarat terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, namun dalam realitanya sejak disandang tahun 1999 independensinya terkurangi melalui pengurangan kewewenangannya. Berdasarkan Revisi Undang-Undang Bank Indonesia yang disusun oleh para wakil rakyat di Senayan yang beredar di publik, terdapat upaya memberangus independensi Bank Indonesia secara gamblang terlihat dari sejumlah poin usulan perubahan.Rancangan peraturan perundangan ini mengusung spirit yang memunculkan kesan betapa pemerintah dan DPR kompak ingin menggunduli wewenang dan independensi Bank Indonesia.


Menurut Ekonom Senior Faisal Basri terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di balik revisi Undang-undang Bank Indonesia (BI) yang saat ini sedang dikerjakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada keinginan pemerintah untuk mengambil kekuasaan lebih dengan dimasuknya Kementerian Keuangan ke dalam Dewan Moneter. Hal serupa juga ditegaskan oleh Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan yang menilai revisi UU Bank Indonesia yang saat ini tengah dibahas di Badan Legislasi DPR RI rawan menuai polemik baru. Pasalnya, di tengah pandemi COVID-19 yang belum jelas kapan berakhirnya ini, rencana reformulasi sektor keuangan justru akan menyita energi yang tidak perlu, selain kontraproduktif. Revisi UU BI hanya akan memutar kembali tuas pengelolaan sektor moneter berjalan mundur seperti di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Jika pembentukan Dewan Moneter terjadi, maka independensi BI, yang juga menjadi benchmark bank sentral di seluruh dunia akan teramputasi secara permanen.


Maka dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh terburu-buru untuk membahas RUU ini dikarenakan tersebut,tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai independensi dan tugas pokok yang diberikan untuk Bank Indonesia itu sendiri sejak era reformasi. Serta harus benar-benar memahami dan memikirkan matang-matang segala risiko yang ada. Selain itu, studi kebanksentralan di kancah global harus menjadi acuan, tentu dengan tetap berpegang pada kondisi dan karakter serta perkembangan ekonomi Indonesia. Apabila Rancangan Undang-Undang ini disahkan maka Independensi BI menghilang dikarenakan campur tangan pemerintah.

 
 
 

Recent Posts

See All
Catcalling Pujian atau Pelecehan?

Menurut International Labour Organization, Pelecehan Seksual merupakan bentuk diskriminasi seksual serius yang mempengaruhi wibawa...

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page