top of page
Search

Catcalling Pujian atau Pelecehan?

  • kabinetaksata
  • Dec 6, 2020
  • 7 min read

Menurut International Labour Organization, Pelecehan Seksual merupakan bentuk diskriminasi seksual serius yang mempengaruhi wibawa perempuan dan laki-laki. Umumnya perempuan sering mendapat sorotan sebagai korban Pelecehan Seksual, sejatinya Pelecehan Seksual dapat menimpa siapa saja. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban ataupun pelaku Pelecehan Seksual.

Perempuan acapkali menjadi objek seksual yang dinilai mengundang hawa nafsu. Tidak jarang pula, pelaku mengancam korban agar tidak melapor. Sehingga kasus pelecehan seksual yang tidak tercatat semakin merajalela karena pelaku masih bebas berkeliaran di masyarakat.

Komnas Perempuan mencatat, pada tahun 2019 terjadi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3.602 kasus. 520 di antaranya adalah kasus pelecehan seksual. Mirisnya, angka yang tercatat belum mewakili terjadinya kasus pelecehan seksual lainnya yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan.

Para korban pelecehan seksual cenderung pasif dengan memilih bungkam karena berbagai alasan seperti takut dengan ancaman dari pelaku dan malu. Bahkan, tidak sedikit kita temukan komentar warganet yang merasa mahabenar justru menyudutkan korban dengan menyalahkan cara berpakaian korban.

Setidaknya terdapat lima kategori bentuk Pelecehan Seksual yang dapat kami sampaikan dan sering terjadi di lingkungan masyarakat, yaitu:

1. Pelecehan fisik, dapat diidentifikasi sebagai sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan cabul seperti mencium, menepuk, mencubit, memegang atau meraba bagian tubuh seseorang.

2. Pelecehan verbal yaitu dengan lisan melontarkan sesuatu yang tidak senonoh tentang bagian tubuh atau penampilan seseorang, komentar berkonotasi seksual seperti catcalling (siulan) bahkan “guyonan” dengan menyebut alat vital atau bagian tubuh tersembunyi bisa dikategorikan sebagai pelecehan verbal.

3. Pelecehan menggunakan isyarat, termasuk bahasa tubuh atau gerak tubuh berkonotasi seksual, lirik dalam waktu lama, kerlingan berulang kali, dan menjilat/mengigit bibir.

4. Pelecehan tertulis atau gambar seperti pada kasus menampilkan bahan pornografi di group chat maupun personal chat termasuk gambar screensaver atau screenshot, pengiriman bahan pornografi atau pelecehan lewat email dan media komunikasi lainnya.

5. Pelecehan psikologis/emosional yakni Merayu terus menerus, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Modus dari pelaku pelecehan seksual acapkali beragam berdasar situasi dan kondisi orang yang ia lihat apakah menarik atau tidak. Kebanyakan di antara pelaku menggangap aksi-aksi yang mereka lakukan (terutama untuk tipe verbal) untuk menyampaikan pujian dan kepedulian terhadap keberadaan seseorang. Meskipun begitu, mereka tetap menyanggah dengan beribu alibi.

Data menemukan empat dimensi yang telah disusun oleh kelompok pendukung keadilan bagi korban Pelecehan Seksual. Keempat itu antara lain:


1. Pertama, “public” vs ”private”. Pelaku yang masuk dalam kategori “public” ini adalah mereka yang menunjukkan sikap melecehkan di hadapan orang lain dengan terang-terangan. Sedangkan untuk pelaku yang terkategori “private”, dari luar nampak tidak menunjukkan perilaku mesumnya. Bahkan mereka cenderung konservatif dan berlaku sopan. Untuk golongan “private” ini jauh lebih berbahaya sebab ia ketika dirasa kondisi menguntungkan dengan sasaran korban, baru pelaku akan menampakkan sifat bejatnya dengan sangat menikmati.


2. Kedua, “untouchable” vs ”risk taker”. Untuk pelaku yang termasuk dalam “untouchable”, biasanya sedikit ceroboh dan tidak menimbang konsekuensi dari perilakunya. Tipe-tipe yang cenderung narsistik ini percaya ia sepenuhnya mengendalikan situasi serta terbebas dari resiko. Tipe kedua “risk taker” adalah orang yang sadar tentang yang ia lakukan adalah sesuatu yang secara moral salah. Karenanya ia cenderung play victim, menyatakan korban sebagai alasan sikap bejatnya mucul dan memposisikan dirinya sebagai korban untuk menutupi alibinya.


3. Ketiga, “seducer-demander” vs ”Passive-Initiator”. Niatnya sama-sama merayu, tipe pertama lebih menekankan mahirnya “memainkan posisi” dan secara aktif merancang tindakannya dengan memanfaatkan posisinya. Maksudnya, pelaku menggunakan posisinya sebagai siasat bahwa ia membutuhkan rasa diinginkan dan dicintai, sehingga ia dapat meyakinkan targetnya. Sementara “passive-initiator” lebih bertindak dengan “memuji” atau “menggoda” secara persuasif. Mereka beranggapan bila korban “meng-iya-kan” (melakukan kontak seksual), maka apa yang terjadi bukan kesalahan mereka.


4. Terakhir, “Obsessive” vs ”Don Juan”. “Obsessive” adalah mereka yang merasa berkuasa dan menjadi pusat relasi, padahal cuma orang biasa yang “tidak berhasil” di tempat kerja. Pelecehan dengan gaya “Don Juan” (atau mungkin bahasa gaulnya fuck boy) senantiasa beraksi dengan memikat banyak orang hingga sering lupa wajah nama korban, dan melakukan pelecehan atas dorongan untuk “mengalahkan”.


Di atas merupakan penjelasan mengenai pelaku Pelecehan Seksual secara umum. Kali ini, kami akan membahas secara mendalam tentang Pelecehan Seksual Verbal. Untuk Pelecehan Seksual Verbal yang paling sering terjadi ialah catcalling. Kasus catcalling sangat penting untuk dibahas, karena di Indonesia masih dianggap sangat lazim, saking lazimnya tidak sedikit orang yang menganggapnya hanya candaan bahkan pujian. Sebagai perempuan, kamu pasti pernah atau sering mendapatkan catcalling bukan ? Menurutmu catcalling pujian atau pelecehan sih ? Oke, supaya ga salah faham lagi yuk kita baca apa sih itu Catcalling?

Semacam siulan atau komentar laki-laki saat kamu sedang berada di jalan, sehingga membuat kamu tidak nyaman. Pada prakteknya, catcalling biasa terjadi di ruang publik di mana seorang laki-laki mengomentari tubuh wanita atau berusaha menggoda wanita yang melewatinya. Para laki-laki ini atau yang biasa disebut dengan istilah catcaller melakukan ini untuk mendapat perhatian dan berharap perempuan akan memberi respon.

Di Indonesia sendiri, kasus catcalling masih sangat sering terjadi di tempat umum seperti jalan raya, transportasi publik, dan bahkan lingkungan kampus dan lingkungan kerja. Banyak yang menganggap itu adalah hal biasa dan mirisnya banyak yang tidak tahu bahwa hal itu berkonotasi seksual. Jadi, mulai sekarang ingat ya catcalling adalah pelecehan, bukan gurauan apalagi pujian!. Nah! Kita harus lebih waspada dengan catcallers. Untuk itu, kita perlu mengetahui tipe-tipe catcaller. Yuk simak!


Catcaller senang memuji


Tidak jarang, catcaller tipe ini membuatmu terbang dan canggung. Ia akan mengatakan "Hai cantik! Iya kamu!" Tujuannya sih untuk menarik perhatianmu, nyatanya malah membuatmu menjauh karena tidak nyaman.


Catcaller sok baik


Mungkin saja tidak termasuk dalam tipe catcaller, tetapi jenis penggoda ini akan mendekatimu di jalan untuk memberi tawaran menemani jalan atau mengantar ke tempat tujuanmu. Bahkan, jika kamu sudah menjawab “tidak, terima kasih”, mereka tetap kekeuh dan berjalan mengikuti di belakangmu. Haduh, menyebalkan ya!


Catcaller undang keributan


Catcaller tipe ini sangat mengganggu. Biasanya, orang yang melakukan ini tidak sendiri, ia berkelompok ya seperti orang-orang yang ingin diperhatikan. Mereka menarik perhatianmu dengan membunyikan klakson, bersiul, bahkan berteriak dari motor atau dalam mobil saat kamu sedang berjalan. Kalau kamu mengalami insiden ini, jangan beri perhatianmu, abaikan saja dan tetap melanjutkan jalan.


Catcaller mudah tersinggung


Tipe catcaller ini adalah yang terburuk. Sebenarnya sangat lucu bagi orang-orang yang melakukan ini. Bagaimana tidak, awalnya ingin menggoda, tapi jika mereka tidak menerima tanggapan seperti yang mereka inginkan, mereka akan berubah dengan menghinamu. Pujian berubah menjadi hinaan, hm agak seram ya. Seperti, “Hai cantik, bolehkah aku minta nomormu?” ketika kamu menjawab dengan sopan, “maaf, tidak”, jawaban yang akan kamu dapatkan malah hinaan dari mereka. Kamu pernah mengalaminya? Jenis catcaller ini jelas menakutkan karena nada bicara mereka dari rendah ke tinggi, dari lembut ke kasar, dari pujian ke hinaan.

Kami sadari perlu bahas mendalam tentang catcalling karena catcalling memiliki pengaruh buruk pada penurunan tingkat self-esteem atau harga diri dari perempuan. Perempuan yang menjadi korban dapat merasa tidak percaya diri lagi karena ia berpikir bahwa dirinya tidak bernilai dimata orang lain dan kemungkinan memikirkan hal tersebut secara berlebih atau overthinking.

Tingkat keparahan dari rasa kurang percaya diri dapat membatasi ruang untuk berekspresi. Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menghindari catcalling. Usahakan sebagai perempuan, kita harus menghindari jalan sendirian terutama diwaktu malam, untuk menurunkan kemungkinan kita terkena catcalling. Untuk catcallers, harus sadar bahwa tindakan catcalling sangat tidak benar, karena mengganggu hak-hak perempuan.

Catcallers, stop commenting on our bodies! It’s not a compliment. It’s not respectful!

Dalam beberapa tahun belakangan, kasus catcalling sering menjadi perbincangan hangat dimedia sosial. Sangat disayangkan bahwa masih banyak perempuan di luar sana yang tidak tahu bahwa catcalling adalah salah satu bentuk pelecehan seksual. Biasanya catcalling disebut sebagai Pelecehan Verbal. Untungnya, sudah makin banyak perempuan yang berani berbagi pengalaman catcalling yang terjadi pada mereka. Di Indonesia sendiri, ada sebuah akun Instagram @dearcatcallers.id yang dibuat untuk mengekspos catcallers dan meningkatkan awareness bahwa catcalling adalah tindakan Pelecehan Seksual.

Meskipun begitu, masih ada banyak kebingungan mengenai catcalling. Bagaimana jika kita mengalami catcalling? Kalau memang catcalling adalah pelecehan verbal, berarti bisa dilaporkan dan ada hukuman bagi pelakunya kan? Di beberapa negara, tindakan ini sudah termasuk perbuatan yang melanggar hukum. Pelaku dapat dijatuhi hukuman, mulai dari denda hingga ancaman penjara.


Bagaimana dengan Indonesia? Adakah hukuman untuk catcallers?

Sayangnya sampai saat ini belum ada dasar hukum yang jelas-jelas mengecam catcalling atau Pelecehan Verbal. Untuk saat ini, aparat penegak hukum harus menggabungkan beberapa pasal pada KUHP dan UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi untuk menyelesaikan kasus catcalling. Dalam KUHP, pasal yang bisa digunakan untuk penyelesaian perkara catcalling, yaitu:

Pasal 281 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan

2. Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Menurut Pasal 281 ayat (2) ini, jika seseorang yang melakukan suatu perbuatan asusila tanpa persetujuan dari orang tersebut di depan orang lain, maka pelaku dapat dipenjara atau dikenakan denda.

Selain itu, dalam UU No. 4 Tahun 2008 tentang Pornografi ada beberapa pasal yang bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus catcalling, yaitu:


Pasal 1 angka 1

“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Berdasarkan penjelasan di atas, catcalling bisa dianggap sebagai pornografi karena memenuhi unsur yang disebutkan di atas, yaitu bunyi, gerak tubuh, suara, dan pesan yang memuat kecabulan.

Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2008

“Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.”

Dalam pasal 9 dalam UU 4/2008 tertulis jelas bahwa setiap orang dilarang menjadikan orang lain objek atau model pornografi. Jadi, catcalling bisa dianggap melanggar UU karena catcalling menjadikan orang lain sebagai objek bagi pelakunya.

Pasal 35 UU No. 4 Tahun 2008

“Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”


Pasal 35 dalam UU No.4 tahun 2008 menjabarkan hukuman bagi mereka yang melanggar aturan yang tertulis dalam Pasal 9 UU No.4. Mereka yang menjadikan orang lain sebagai objek pornografi dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai Rp. 6.000.000.000,- (enam miliar rupiah).


Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa ada hukum dalam Undang-Undang yang bisa dijadikan dasar hukum untuk melindungi korban catcalling. Bagi kalian yang menjadi korban catcalling, jangan takut untuk melaporkan dan berbagi pengalaman tentang catcalling agar makin banyak yang sadar bahwa catcalling adalah Pelecehan Seksual.

Semoga kami selaku penulis dan para pembaca tidak menjadi korban maupun pelaku dari Pelecehan Seksual Verbal.

 
 
 

Recent Posts

See All

Yorumlar


Post: Blog2_Post
bottom of page